Di Antara Cinta, Syukur, dan Ujian Ekonomi
Oleh: Ahmat Zulfikarnain Lubis
Cinta, pada awalnya, sering lahir dari harapan. Seorang laki-laki memimpikan wanita yang akan menjadi teman hidupnya bukan hanya untuk berbagi bahagia, tapi juga untuk mengarungi badai. Ia menyiapkan diri, menabung, berdoa, dan berikhtiar. Tujuannya mulia: membangun rumah tangga, menciptakan kehidupan yang sejahtera bersama orang yang dicintainya.
Namun hidup tak selalu berjalan seindah rencana. Setelah pernikahan, realitas perlahan membuka wajah aslinya. Ekonomi tak selalu stabil. Kadang pekerjaan tak sesuai harapan. Penghasilan tak seberapa. Dan di titik inilah, makna cinta diuji, begitu pula nilai kesetiaan dan rasa syukur seorang pasangan.
Sayangnya, ada istri yang hanya bisa mencintai saat berlimpah, namun mulai kehilangan hormat saat keadaan seret. Padahal, sejatinya rumah tangga bukan sekadar tempat menuntut, tetapi ruang untuk saling menguatkan. Ketika istri mulai mengeluh dan membandingkan suaminya dengan laki-laki lain yang lebih mapan, sesungguhnya ia sedang mencabut akar ketenangan dari rumahnya sendiri.
Lebih menyedihkan lagi ketika rasa syukur lenyap. Istri mulai meremehkan perjuangan suami. Lupa akan peluh yang pernah menetes. Lupa akan malam-malam di mana suaminya begadang demi anak-anak. Dan ketika keputusan pisah akhirnya diucapkan hanya karena urusan ekonomi, maka jelas: yang rusak bukan sekadar hubungan, tapi nilai-nilai luhur dalam pernikahan itu sendiri.
Apa makna cinta jika tidak tahan uji? Apa arti janji di pelaminan jika hanya berlaku saat senang? Bukankah menikah itu komitmen, bukan kontrak dagang?
Saya tidak mengatakan bahwa perempuan harus menerima semua keadaan dengan diam. Tidak. Tapi ada perbedaan antara memperjuangkan hidup bersama dengan saling mendukung, dan menyerah lalu menyalahkan saat keadaan sulit. Rasa syukur tidak berarti pasrah, tetapi menghargai apa yang ada sambil terus ikhtiar memperbaiki.
Rumah tangga tidak akan pernah sempurna. Tapi selama dua orang masih saling memelihara niat baik, menjaga komunikasi, dan merawat empati, maka badai bisa dilalui. Namun bila cinta hanya didasari pada materi, maka ketika uang habis, cinta ikut lenyap, dan janji berubah menjadi beban.
Ekonomi memang penting, tapi ia bukan satu-satunya pondasi pernikahan. Yang lebih penting adalah rasa saling menghargai, kesediaan untuk berjalan bersama, dan kemampuan untuk bersyukur atas proses, bukan sekadar hasil.
Mungkin sudah saatnya kita mendidik generasi kita agar memandang pernikahan bukan hanya sebagai jalan menuju kenyamanan, tapi sebagai perjalanan spiritual dan kemanusiaan. Tempat untuk tumbuh, belajar, gagal, bangkit, dan tetap bersama.

0 Comments